Riyadh, eranasional.com : Arab Saudi meningkatkan perang harga minyak dengan meningkatkan jumlah produksi secara besar-besaran. Perusahaan milik negara, Saudi Aramco diminta untuk memompa 13 juta barel per hari dalam upaya untuk memojokkan pasar global.

Perang harga minyak diperkirakan bakal intensif karena 13 juta barel per hari merupakan rekor tersendiri dalam produksi Saudi Aramco, yang diistilahkan ‘kapasitas berkelanjutan maksimum’.

Perintah dikeluarkan setelah pihak Kerajaan Saudi memutuskan untuk melancarkan perang harga terhadap negara-negara pesaing dengan berjanji untuk meningkatkan produksinya seperempat dari bulan lalu meskipun permintaan minyak melambat karena wabah Coronavirus.

Pemerintah Saudi berencana untuk meningkatkan produksi minyak nasional mereka dari bulan depan, yang merupakan kenaikan paling tajam dari beberapa bulan terakhir yang hanya memproduksi 10 juta barel per hari. Tujuannya sekali lagi menyudutkan pasar global.

Arab Saudi sebagai pengekspor minyak terbesar dunia, diperkirakan ingin mempertahankan dominasi pasarnya terhadap gelombang kenaikan produksi minyak di AS dan Rusia setelah pembicaraan untuk menyepakati batasan baru pada produksi global berantakan pada akhir pekan kemarin.

Moskow menolak bekerja sama dengan rencana OPEC untuk mengurangi produksi minyak sejalan dengan perlambatan permintaan global, yang diperkirakan akan menghapus perkiraan pertumbuhan permintaan pada tahun 2020. Demikian dilansir The Guardian, Rabu (11/3/2020).

Sebagai tanggapan, Saudi telah menawarkan tingkat diskon kepada pembeli utama, dalam persaingan langsung dengan Rusia, yang juga berencana untuk meningkatkan produksi sendiri sebesar 300.000 barel per hari.

Runtuhnya pembicaraan OPEC dengan produsen besar di luar kartel, yang dikenal sebagai OPEC+, menandai berakhirnya aliansi hampir empat tahun yang didirikan setelah jatuhnya harga minyak tahun 2016, untuk menopang harga pasar dengan membatasi pasokan baru ke pasar itu sendiri.

Menteri Energi Rusia, Alexander Novak, belum mengesampingkan pembicaraan lebih lanjut dengan OPEC untuk membantu menstabilkan pasar minyak. Namun kedua sisi kebuntuan harga bersikeras bahwa mereka siap untuk menghadapi penurunan harga yang berkepanjangan.

Arab Saudi memiliki beberapa item biaya produksi terendah di dunia, yang berarti Aramco dapat menahan harga rendah jauh lebih baik daripada perusahaan minyak besar lainnya.

Namun perlu diingat, ekonomi Saudi sangat bergantung pada pendapatan minyak daripada kebanyakan negara dan dilaporkan membutuhkan harga sekitar $ 50- $ 60 (£ 38- £ 46) per barel untuk mendukung kas negara.

Sehingga, apabila nantinya perhitungan mereka meleset, pastinya akan merugi. Karena pendapatan negara lainnya belum maksimal selain minyak bumi. Terlebih sektor Haji dan Umrah juga sedang terhantam isu Covid-19, sehingga minyak jadi satu-satunya sumber pendapatan.

Atau, jika memang ‘aksi nekat’ perang harga ini berjalan lancar, mereka harus memeras tenaga memproduksi berkali-kali lipat dari biasanya guna menutupi pemasukan kas negara.

Di Rusia, biaya produksi lebih tinggi tetapi ekonominya lebih beragam dan bisa dibilang lebih tahan terhadap penurunan pasar minyak lainnya.

Perang harga minyak terpicu minggu ini oleh kejatuhan harga paling curam sejak 1991, yang mendorong harga turun ke posisi terendah empat tahun terakhir sekitar $ 35 per barel pada hari Senin kemarin, dan memicu kekhawatiran penurunan pasar minyak pada 2020.

Guncangan harga telah menghapus miliaran dari nilai pasar perusahaan minyak minggu ini, sehingga memaksa turun harga saham perusahaan besar termasuk Shell dan BP sekitar 20%, dan meningkatkan kekhawatiran atas dividen mereka.

Analis di Rystad Energy telah memperingatkan bahwa harga minyak di wilayah $ 30 bisa menjadi masalah bagi perusahaan jasa ladang minyak juga karena produsen besar memangkas pengeluaran mereka untuk proyek-proyek baru. Pengeluaran ini bisa turun $ 100 miliar pada tahun 2020 dan $ 150 miliar lebih lanjut tahun depan, kata Rystad.

Pertengkaran geopolitik juga menambah kekhawatiran akan perlambatan ekonomi global, yang meningkat tahun ini setelah pecahnya wabah Covid-19.

(Red).