Ilustrasi (Foto: Net)

JAKARTA, Eranasional.com – Terungkap Sejak tahun 2019 hingga 2022, setiap tahunnya 1.000 warga negara Indonesia (WNI) pindah kewarganegaraan menjadi warga negara Singapura.

Sebagai salah satu negara dengan angka fertilitas (kelahiran) terendah di dunia, Singapura sedang berusaha menambah populasinya dari sekitar 5 juta menjadi 6,9 juta pada 2030. Caranya, dengan membujuk lebih banyak warganya punya anak dan memberikan kewarganegaraan kepada tenaga profesional dari luar negeri.

Menurut informasi resmi, Singapura telah memberikan kewarganegaraan kepada 15.000-25.000 warga asing setiap tahunnya. Syarat utamanya untuk mendapatkan kewarganegaraan adalah telah menjadi permanent resident selama setidaknya dua tahun.

Orang Indonesia yang berprofesi sebagai akademisi di Nanyang Tecnology University (NTU) Singapura, Profesor Sulfikar Amar mengatakan salah satu cara Singapura merekrut warga dari negara-negara tetangga adalah memberikan beasiswa untuk kuliah di universitas-universitas paling bergengsi di negara tersebut seperti NTU dan National University of Singapore (NUS).

Beasiswa itu berupa hibah biaya Pendidikan (tuition grant) untuk studi sarjana selama maksimal empat tahun. Namun syaratnya, penerima beasiswa harus bekerja di perusahaan Singapura selama tiga sampai empat tahun pasca kuliah.

“Nah, biasanya yang pindah jadi warga negara Singapura itu adalah mereka yang sudah menikmati berbagai fasilitas yang disediakan pemerintah Singapura, baik itu fasilitas Pendidikan maupun fasilitas publik lainnya, misalnya transportasi publik, kesehatan, dan lainnya,” kata Profesor Sulfikar.

“Belum lagi jika kita bandingkan dengan kondisi kota yang jauh lebih baik dari kota-kota mana pun di Indonesia. Polusi di Singapura sangat rendah, transportasi publiknya yang merupakan salah satu terbaik di dunia. Jadi nyaman tinggal di sana,” sambungnya.

Ilustrasi (Foto: Net)

Faktor tambahan yang membuat banyak WNI pindah kewarganegaraan ke Singapura yaitu paspor Singapura yang merupakan salah satu paspor paling sakti di dunia.

Sebagai informasi, paspor Singapura menempati peringkat kelima dalam daftar Passport Index dan dapat masuk ke 127 negara tanpa visa.

“Sementara kalau menggunakan paspor Indonesia ke mana-mana, diperlakukan sangat tidak enak ketika kita minta visa,” ujarnya.

Sulfikar mengatakan, berdasarkan pengamatannya terhadap beberapa WNI yang pindah kewarganegaraan Singapura menyatakan tidak membenci atau kecewa dengan Indonesia. Mereka tetap merasa itu adalah bagian dari identitasnya sebagai orang Indonesia yang tinggal di negara tersebut.

“Tapi mereka melihat kalau tinggal di Indonesia mungkin pekerjaan mereka tidak dihargai, khususnya teman-teman yang bekerja di dunia akademik, di dunia Pendidikan. Ada juga yang punya alas an bersifat personal yang tentu saja sangat komplek,” ungkap Sulfikar.

Alarm Bahaya untuk Indonesia

Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Silmy Hakim mengatakan banyaknya jumlah WNI yang berganti kewarganegaraan, khususnya mereka yang usia produktif patut menjadi “alarm” akan kemungkinan pelarian modal manusia (brain drain) di Indonesia.

Ilustrasi (Foto: Net)

Istilah itu merujuk pada perpindahan orang-orang pintar dan terdidik ke luar negeri sehingga negara asalnya kehilangan otak yang terampil.

“Yang jadi masalahnya, orang-orang produktif memiliki keahlian expertise dan talenta-talenta terbaik, ini kan merupakan aset. Bagaimana kita menjaga mereka supaya tetap ada di Indonesia? Ini menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama,” ujarnya.

Sementara itu, Duta Besar Indonesia di Singapura, Surypratomo mengatakan angka 1.000 WNI per tahun pindah kewarganegaraan sebenarnya terbilang sedikit dibandingkan jumlah WNI di negara tersebut yang sekitar 250.000, termasuk 5.000 mahasiswa dan 160.000 pekerja domestik.

Dia memperkirakan angka 1.000 WNI per tahun juga mencakup para pengusaha dan warga lanjut usia (lansia) yang memutuskan menetap di Singapura setelah pandemi COVID-19.

Menurut dia, banyak WNI lansia merasa lebih nyaman tinggal di Singapura karena sistem kesehatan dan lingkungan lebih baik.

“Banyak orang memutuskan untuk menjadi warga negara Singapura karena merasa lebih aman hidupnya kalau nanti terjadi pandemi lain,” kata Suryopratomo.

Namun, Suryo tidak memungkiri bahwa brain drain tampaknya benar-benar terjadi. Untuk mencegah itu, Indonesia perlu menawarkan kehidupan yang lebih menyenangkan, lebih nyaman, lebih menantang, serta lebih banyak ruang untuk maju.

Ilustrasi (Foto: Net)

“Kita sadar bahwa brain darin itu terjadi. Nah, pertanyannya adalah kita menyalahkan siapa? Menyalahkan orang dianggap tidak punya nasionalisme? Karena orang tidak hanya sekadar butuh uang, tapi dia butuh aktualisasi diri sebagai manusia dan itu kalau dia punya pekerjaan,” tukasnya.

Dia merasa pemerintah Indonesia sudah mulai melakukan upaya untuk mencegah brain drain dengan berbagai program seperti beasiswa LPDP, yang mensyaratkan penerimanya harus pulang dan bekerja di Indonesia selama dua kali masa studi ditambah satu tahun (2n+1).