Pengungsi anak-anak. (Foto: Ist/BBC)

Eranasional.com – Bencana alam dan cuaca ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim seperti banjir, kekeringan, badai, hingga kebakaran hutan, memaksa sekitar 43,1 juta anak dunia mengungsi.

Jumlah ini merupakan data yang dimiliki Badan Perserikatan Bangsa Bangsa yang menangani persoalan anak, UNICEF, PBB dari tahun 2016 sampai 2021.

Berdasarkan data tersebut, UNICEF mengecam dunia karena kurang memberikan perhatian kepada anak-anak yang menjadi korban.

Dalam sebuah laporan menyeluruh, salah satu penulis Laura Healy menyebutkan UNICEF telah merinci kisah-kisar yang menyayat hati dari beberapa anak yang terkena dampaknya. Salah satunya Khalid Abdul Azim, seorang anak asal Sudan yang desanya terendam banjir dan hanya bisa diakses menggunakan perahu.

“Kami memindahkan barang-barang kami ke jalan raya yang menjadi tempat kami tinggal selama berminggu-minggu,” kata Khalid Abdil Azim.

Pada tahun 2017, sepasang kakak adik, Mia dan Bravo mengaku menyaksikan kobaran api melalap minivan keluarganya di California, Amerika Serikat.

“Saya takut, terkejut. Saya jadi terjaga sepanjang malam,” kata Mia dalam laporan tersebut.

Pengungsi anak-anak. (Foto: Ist/BBC)

Setiap Hari Ada 20 Ribu Anak Mengungsi

Statistik tentang pengungsi internal yang disebabkan oleh bencana iklim umumnya tidak memperhitungkan usia para korban. Namun, UNICEF bekerja sama dengan organisasi nonpemerintah dan Pusat Pemantauan Pengungsian Internal mengungkapkan data dan memperlihatkan jumlah korban yang sebelumnya tak diperhitungkan khususnya di kalangan anak-anak.

Data dari tahun 2016-2021, dikumpulkan dari empat kategori bencana iklim yakni banjir, badai, kekeringan, dan kebakaran hutan, yang frekuensi insidennya meningkat akibat pemanasan global.

Data tersebut menunjukkan bahwa 43,1 juta anak dari 44 negara terpaksa mengungsi, di mana 95 persen dari pengungsian internal tersebut disebabkan oleh banjir dan badai.

“Angka ini setara dengan sekitar 20.000 anak yang mengungsi setiap harinya,” kata Laura Healy kepada AFP.

Digarisbawahi Laura, anak-anak yang terkena dampak ini berisiko mengalami trauma, seperti terpisah dari orang tua, bahkan bisa menjadi korban perdagangan anak.

Prediksi Hingga 30 Tahun ke Depan

Dalam laporannya yang sama, UNICEF memaparkan beberapa prediksi parsial kejadian-kejadian tertentu, seperti banjir akibat meluapnya sungai dan diprediksikan akan memaksa 96 juta anak mengungsi dalam 30 tahun ke depan.

Pengungsi anak-anak. (Foto: Ist/BBC)

Sementara, peristiwa angin topan akan menyebabkan 10,3 juta anak terpaksa mengungsi. Sedangkan gelombang badai dapat menyebabkan 7,2 juta anak mengungsi di masa depan.

“Bagi para korban yang terpaksa mengungsi akan menyebabkan ketakutan dan dampaknya bisa sangat menghancurkan. Muncul kekhawatiran pada anak-anak itu , apakah mereka akan kembali ke rumah, melanjutkan sekolah, atau harus dipaksa pindah lagi,” kata Direktur Eksekutif UNICEF Catherine Russell.

Menurut Cathrerine, keputusan untuk pindah mungkin telah menyelamatkan hidup anak-anak, tetapi juga mengganggu mereka.

Dibahas di Pertemuan Iklim COP28

UNICEF pun meminta para pemimpin dunia untuk mengangkat isu ini dalam pertemuan iklim COP28 di Dubai, Arab Saudi pada November dan Desember 2023.

Laura Healy mengatakan bahwa anak-anak, termasuk mereka yang terpaksa berpindah tempat, harus dipersiapkan untuk hidup di dunia yang mengalami perubahan iklim, meskipun dampak perubahan iklim ini semakin meningkat dan mempengaruhi sebagian besar bumi.

Disebutkan, China, India, dan Filipina adalah negara-negara dengan jumlah pengungsi terbesar, yakni hampir 23 juta dalam enam tahun terakhir. Selain jumlah penduduknya yang besar dan lokasi geografis, tetapi bencana evakuasi yang mereka lakukan juga sangat minim dan terlambat.

Namun, secara proporsional, Afrika dan negara-negara kepulauan kecil adalah yang paling berisiko. Setidaknya 76 persen dari total anak yang mengungsi dari tahun 2016-2021 merupakan anak-anak di Dominika. Sedangkan Kuba dan Saint-Martin, angkanya lebih dari 30 persen.